Tarian Lariangi: Warisan Budaya Wakatobi

By | 11 Juni 2024

Lariangi adalah tarian tradisional yang berasal dari Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Tarian ini dikenal sebagai salah satu warisan budaya yang kaya akan nilai sejarah dan estetika. Tarian Lariangi tidak hanya sekadar tarian, tetapi juga merupakan bentuk ekspresi budaya yang mendalam, mencerminkan kehidupan sosial dan nilai-nilai masyarakat setempat.
Tarian Lariangi

Pengakuan sebagai Warisan Budaya Nasional dan Nominasi UNESCO

Pada tahun 2020, Lariangi diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Pengakuan ini merupakan langkah penting dalam upaya melestarikan tarian ini agar tidak punah ditelan zaman. Saat ini, Lariangi juga tengah diupayakan untuk mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda, yang akan memberikan perlindungan dan promosi lebih lanjut terhadap tarian ini di kancah internasional.

Asal Usul Tarian Lariangi

Kata “Lariangi” berasal dari dua kata dalam bahasa lokal, yaitu “lari” yang berarti “tari” dan “angi” yang berarti “indah” atau “baik”. Secara harfiah, Lariangi bisa diartikan sebagai “tarian yang indah”. Para penari Lariangi mengenakan pakaian tradisional yang berwarna-warni, dilengkapi dengan berbagai hiasan yang sarat makna. Pakaian ini tidak hanya menambah keindahan visual, tetapi juga memiliki simbolisme yang mendalam.

Simbolisme dalam Pakaian

Penari Lariangi mengenakan hiasan kepala yang disebut panto atau pintoru. Hiasan ini melambangkan status sosial dan keindahan, serta mencerminkan identitas budaya mereka. Hepupu atau konde adalah hiasan rambut yang digunakan oleh penari wanita Putri Togel. Hiasan ini menambah keanggunan penampilan penari dan melambangkan kemurnian serta kecantikan perempuan.

Penari Lariangi juga memakai berbagai hiasan lain seperti bunga konde, toboy, hebindu, dan kalung. Setiap hiasan memiliki arti khusus, seperti bunga konde yang melambangkan kesuburan dan kecantikan alam, serta kalung yang melambangkan kekayaan dan kemakmuran.

Sejarah Tarian Lariangi

Lariangi dipercaya telah ada sejak abad ke-14, tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika sosial dan budaya masyarakat Buton. Pada awalnya, tarian ini dimainkan sebagai bagian dari ritual keagamaan dan kegiatan sosial. Pada masa Kesultanan Buton, Lariangi mengalami perkembangan pesat. Tarian ini menjadi bagian dari upacara kerajaan dan dianggap sebagai simbol kebesaran dan kemakmuran kesultanan.  Lariangi juga berfungsi sebagai media informasi dan hiburan. Melalui gerakan dan syairnya, tarian ini menyampaikan cerita-cerita rakyat, legenda, serta pesan moral kepada masyarakat.

Pertunjukan Tarian Lariangi

Seiring berjalannya waktu, Lariangi mengalami berbagai perubahan. Dahulu, tarian ini hanya dipertunjukkan untuk kalangan istana, tetapi sekarang telah menjadi bagian dari pertunjukan budaya yang lebih inklusif dan interaktif. Dalam perkembangannya, Lariangi menunjukkan kemiripan dengan tari tayub dari Jawa, terutama dalam hal interaksi antara penari dan penonton Naga Saon. Penonton bisa memberikan saweran atau hadiah kepada penari sebagai bentuk apresiasi. Penonton tidak hanya menjadi penikmat, tetapi juga terlibat aktif dalam pertunjukan. Mereka memberikan saweran kepada penari sebagai simbol penghargaan dan dukungan.

Pertunjukan Lariangi biasanya melibatkan 8 hingga 12 penari dan berlangsung selama 30 hingga 45 menit. Setiap gerakan dan nyanyian memiliki makna dan cerita yang berbeda, sehingga durasi pertunjukan dapat bervariasi tergantung pada konteks dan tema yang dibawakan. Tarian ini diiringi oleh alat musik tradisional seperti gendang, gong, dan seruling. Musik pengiring ini menciptakan suasana yang mendalam dan mendukung narasi yang dibawakan melalui gerakan tarian.

Dalam setiap pertunjukan, penari memperagakan gerakan yang lembut dan anggun, diiringi oleh nyanyian yang mengisahkan berbagai cerita. Gerakan dan nyanyian ini saling melengkapi, menciptakan harmonisasi yang memukau. Salah satu cerita yang sering dibawakan dalam tarian Lariangi adalah tentang kapal-kapal di Kaledupa, sebuah pulau di Wakatobi. Cerita ini menggambarkan kehidupan masyarakat pesisir yang bergantung pada laut. Lagu-lagu utama dalam Lariangi antara lain “Iya Malahu” dan “Ritanjo”. Lagu-lagu ini tidak hanya berfungsi sebagai pengiring, tetapi juga sebagai media penyampai pesan dan cerita kepada penonton.

Gerakan nyibing adalah puncak dari tarian Lariangi. Gerakan ini melambangkan puncak dari cerita yang disampaikan dan biasanya dilakukan dengan penuh semangat dan keceriaan. Meskipun sebagian besar penari Lariangi adalah wanita, peran lelaki juga penting dalam tarian ini. Lelaki biasanya bertindak sebagai pengiring musik dan pendukung tarian.

Pentingnya Pelestarian

Lariangi merupakan bagian dari warisan dunia tak benda yang perlu dilestarikan. Tarian ini tidak hanya mencerminkan kekayaan budaya lokal, tetapi juga kontribusi Indonesia terhadap keberagaman budaya dunia. Selain Lariangi, Wakatobi memiliki berbagai tarian tradisional lain seperti Sydney Pools Today, eja-eja, kuiramba, badanda, dan kenta-kenta. Setiap tarian memiliki keunikan dan cerita yang berbeda, mencerminkan kekayaan budaya daerah ini.

Upaya pendaftaran Lariangi ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda terus dilakukan. Pengakuan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat internasional terhadap nilai penting dari tarian ini dan mendukung upaya pelestariannya.

Kesimpulan dari Tarian Lariangi

Lariangi bukan sekadar tarian, tetapi juga cerminan dari sejarah dan nilai budaya masyarakat Wakatobi. Tarian ini mengandung makna yang dalam dan menjadi bagian penting dari identitas budaya lokal. Pelestarian Lariangi sangat penting untuk menjaga keberlanjutan budaya ini bagi generasi mendatang. Pengakuan internasional, seperti dari UNESCO, akan memberikan perlindungan dan promosi yang lebih luas, memastikan bahwa Lariangi tetap hidup dan dikenal oleh dunia.

Dengan segala keunikan dan nilai yang dimilikinya, Lariangi pantas untuk dilestarikan dan mendapatkan pengakuan yang lebih luas. Upaya pelestarian ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat lokal, dan komunitas internasional, agar warisan budaya ini seperti Data HK 6D tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Tinggalkan Balasan